Awal – awal di Luwuk

Terbang ke awal September 2018, ketika project Asian Games gw selesai.

Sebelumnya gw mau pakai kata ‘saya’ ditulisan ini. Ini untuk memberikan rasa yang lebih dalam. Sebab, ketika mendarat di Luwuk, seluruh logat dan bahasa saya berubah. Menjadi kebugis-bugisan. Dan bahasa mereka menggunakan kata saya. Oke mulai,

“Ran, mau nggak berangkat ke Luwuk? Ada posisi nutrisi di sana yang kosong,” kata Pak Bos.

“Hah? Luwuk? Mana tuh?” Tanya saya.

“Guglinglah!”

Lalu sekejab, saya menemukan titik kecil Kota Luwuk, Banggai. Di tengah Sulawesi. Jauuuh di sana.

“Wiiiiwwww, keren kali ya bisa ke sana, tiap bulan pulang Solo. Pulang pergi gratis, kek traveller. Solo-Luwuk PP rasa ke toilet aja. Sering betul,” batin saya waktu itu. Belum tau apa kerjaannya, hahaha.

Kemudian di Solo, saya mengurus ijin berangkat ke orang tua. Agak pakai lobi-lobi alot, tapi akhirnya boleh. Seminggu acc, dan berangkat.

IMG_20190509_134558_205
Awalnya dulu kami pakai pesawat ATR untuk bisa nyampe Luwuk, pesawat yang guncangannya ngeri ngeri sadap, haha

Perjalanan pertama saya, saya ingat betul, sangat menarik. Merasa keren karena bisa naik pesawat tiga kali dalam sehari. Mulai dari pesawat gede sampek pesawat baling-baling. Dulu pas masih kuliah, saya pernah punya mimpi, enak kali ya bisa naik pesawat gratis setiap bulan. Sekarang tercapai, dengan cara ini. Waktu itu, saya merasa nggak ada rasa takut kenapa-kenapa. Enjoy banget, seru banget. Apalagi liat Luwuk dari atas tuh masyaallah kereeeeennn luar biasa. Alamnya jos banget. Ini salah satu lautnya Luwuk yang super keren, yang selalu membuat saya terkagum pas diperjalanan. Karena saya jarang bisa keluar mobil, jadilah foto seadanya pakai hape. Aslinya jauh lebih indah.

LRM_EXPORT_233210957911504_20190925_172324548
Sayang, terbatas banget framenya

Tapi sayangnya perjalanan seru ini nggak lama, haha. Saya ingat, hanya 4 bulan pertama saja, saya merasa keseruan ini. Setelahnya, menjadi rutinitas. Ternyata ada tantangan tersendiri juga, apalagi terkait schedule. Hahaha. Cuman alam Luwuk selalu memberi suguhan yang manis setiap perjalanan pulang dan pergi saya.

 

Oiya, pas hari kedua di tempat kerja, saya mikir, saya di sini sendirian banget. Nggak ada yang saya kenal sama sekali. Sama sekali. Trus saya mikir, siapa ya kira-kira temen saya yang ada di Sulawesi. Banyak sih, tapi kebanyakan di Makassar. Dan Makassar masih 1 jam perjalanan udara dari sini, hahaha.. yakali. Eh tapiii. Nah! Ketemu! Firly! Yas.

Ternyata ada juga satu temen PN yang dari Luwuk. Alhamdulillah. Akhirnya ketemu temen! Dan bersyukurnya juga, sempet main beberapa kali ke rumahnya.

Bersyukur kedua, ternyata saya punya sodara! Adiknya bulik ada di Palu dan sekarang sedang tugas di Luwuk! Di tempat yang sama dengan saya kerja. Alhamdulillah. Ternyata saya nggak benar-benar sendiri. Seneng.

 

Sepekan saya di sini, gempa tsunami Palu terjadi. Kerasa sampai tempat kerja, tapi nggak terlalu kenceng. Sinyal ponsel hilang, beberapa hari. Malam itu hilang sinyal, saya rasa nggak papa. Saya pikir hanya gempa biasa.

Paginya waktu lihat berita, ternyata ada tsunami Palu. Wah, gawat ini kalau nggak telpon orang rumah. Mau telpon tapi nggak ada sinyal. Puter otak dan nanya sana sini, akhirnya bisa pinjam ponsel temen buat telpon orang rumah. Benar! Serumah nggak bisa tidur semalam cuman mikirin saya. Astagfirullah. Nggak cuman serumah, bahkan sodara-sodara lain juga nanyain gimana kondisi saya. Maaf, nggak ngerti harus kontak gimana. Semalem bener-bener semua komunikasi keos akibat gempa. Walau berjarak 12 jam perjalanan darat dari Palu, tapi dampaknya sampai ke Luwuk. Sebab satu-satunya pusat sinyal kami ada di Palu. Tapi Alhamdulillah kami tidak kenapa-kenapa. Ini sambutan luar biasa di hari-hari pertama di Luwuk.

Empat bulan kemudian ada gempa lagi, haha. Yampun sambutan awal-awal oleh alam. Kali ini lebih besar, gempa terbesar yang saya rasakan seumur hidup. Skala 6.3 SR yang berpusat di Luwuk, Banggai. Waktu itu rasanya udah pasrah, kalau emang mau tsunami kita dah pasti selesai. Posisi CPP ini tepat di pinggir laut, sedangkan jarak ke gunung itu jauh, lebih satu jam. Dan nggak memungkinkan kita buat lari ke sana. Alhamdulillah gempa pertama yang kuat itu sekali aja, walaupun setelah itu ratusan gempa susulan masih dirasakan. Nggak bisa tidur, trauma. Tapi syukurnya aman semua setelah itu.

 

Warbyasak memang sambutan awal-awal yah, hahaha.

Tabik!

Tinggalkan komentar